Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tidak Hanya Sebagai Sarang Koruptor, DPR RI Juga Jadi Sarang Mafia Tanah

Selasa, 18 Juli 2023 | 11.10.00 WIB | 0 Views Last Updated 2023-07-18T04:10:11Z


AKTUALINDO.COM, Jakarta – Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, mengatakan bahwa DPR RI terindikasi kuat telah menjadi sarang mafia tanah. Pasalnya, beberapa kasus sengketa pertanahan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia didalangi oleh oknum-oknum yang saat ini duduk sebagai anggota DPR RI. Salah satunya adalah Sihar P.H. Sitorus, anak almarhum DL Sitorus, yang diduga keras telah mencaplok tanah milik Legiman Pranata.


Hal tersebut disampaikan Wilson Lalengke kepada jaringan media massa di seluruh Indonesia dan luar negeri saat ditanyakan pendapatnya terkait adanya kasus sengketa lahan di Deli Serdang, Sumatera Utara, antara Legiman Pranata dan Sihar P.H. Sitorus. “Dari berbagai data dan informasi yang dilaporkan korban mafia tanah, Legiman Pranata, saya melihat ada peran kuat Sihar P.H. Sitorus dalam proses rekayasa dan pemalsuan berbagai data untuk menguasai tanah yang disengketakan. Karena Sihar P.H. Sitorus adalah anggota DPR RI dari Partai PDI-P, maka wajar saja publik beranggapan bahwa DPR-RI telah menjadi sarang mafia tanah, demikian juga PDI-P, tempat bercokolnya oknum mafia tanah,” ujar alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 ini, Senin, 17 Juli 2023.


Satgas Mafia Tanah yang dibentuk Presiden Jokowi untuk mengatasi kejahatan para mafia, ternyata tidaklah berfungsi sesuai harapan. Bahkan team pemberantas mafia tanah tersebut justru dipandang remeh dan jadi olok-olok oleh BPN Deli Serdang, Suamtera Utara, tempat penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) ganda di atas lokasi yang sama, masing-masing atas nama Sihar Sitorus (bukan Sihar P.H. Sitorus) dan Legiman Pranata. Sangat mungkin, Satgas Mafia Tanah ini dibuat bukan untuk memberantas mafia tanah, tapi sebaliknya menjadi pelindung para mafia tanah, seperti salah satunya Sihar P.H. Sitorus.


Berdasarkan fakta lapangan, salah satu kejanggalan yang amat jelas terlihat di BPN Deli Serdang adalah terkait peta GPS satelit yang diduga kuat telah diubah oleh oknum BPN. Ketika diakses pada bulan Agustus 2022, yang muncul adalah peta lahan SHM Nomor 477 atas nama Sihar Sitorus, seluas 11.888 meter persegi yang diterbitkan pada 19 Februari 2007. Namun aneh bin ajaib, di peta GPS tersebut tidak muncul Nomor Induk Buku (NIB). Padahal, data peta GPS yang sama, di lokasi tanah yang sama, saat diakses pada sekitar tahun 2018, tertera informasi tanah tersebut atas nama pemilik Legiman Pranata, SHM Nomor 655 dengan luas lahan 8.580 meter persegi, NIB 00635, diterbitkan tanggal 26 Desember 2012.


Sebagaimana diketahui bahwa salah satu persyaratan untuk penerbitan sertifikat tanah dari BPN, dalam hal ini BPN Deli Serdang, adalah Surat Pelunasan Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan Tahunan (SPPT PBB). Untuk memenuhi persyaratan ini Legiman Pranata mengajukan permohonan Nomor Obyek Pajak (NOP) pada Mei 2012, tidak lama setelah membeli tanah yang disengketakan itu dari warga bernama Jamaludin. Hasilnya, Legiman Pranata wajib membayarkan PBB dengan NOP 12.10.230.010.001-0183.0 itu sejak 2006 s/d 2012 alias 7 tahun, sebesar Rp. 38.565.815,- Tagihan PBB itu pun masih terus berlanjut dibayarkan oleh yang bersangkutan hingga tahun 2019.


Yang jadi pertanyaan, kata Wilson Lalengke, adalah bagaimana mungkin SHM Nomor 477 dapat diterbitkan atas nama Bintang Sitorus, SE (pemilik awal sebelum dijual ke Sihar P.H. Sitorus – red) oleh BPN Deli Serdang tanpa melampirkan syarat SPPT PBB tahun 2006 dan 2007 atas lahan yang disertifikatkan itu? Pertanyaan kedua, apakah mungkin obyek pajak yang sama alias NOP yang sama bisa dibayarkan PBB-nya oleh dua pihak yang berbeda setiap tahunnya hingga 2019?


“Terdapat beberapa kemungkinan atas SHM Nomor 477 milik Bintang Sitorus yang dipindah-tangankan kepada Sihar Sitorus (sesuai nama di sertifikat – red). Pertama, SHM itu palsu, dibuat tanpa sepengetahuan atau melibatkan BPN. Kemungkinan kedua, Sihar P.H. Sitorus and the genk berkolusi dengan BPN untuk merampas tanah Legiman Pranata melalui penerbitan SHM Nomor 477 di obyek yang sama, yang sudah bersertifikat SHM Nomor 655. Untuk menerbitkan SHM Nomor 477 tersebut, tentu diperlukan data-data pendukung, yakni Akte Jual Beli (AJB) dan lain sebagainya, yang hampir pasti diadakan melalui proses pemalsuan dokumen,” jelas Wilson Lalengke yang mengaku prihatin atas perlakuan sewenang-wenang orang berduit terhadap warga yang lemah ini.


Fakta lainnya, dalam SHM Nomor 477 tertera nama pemilik awal Bintang Sitorus, SE. Dari pemilik awal ini, sertifikat kepemilikan tanah beralih kepada Sihar Sitorus, bukan Sihar P.H. Sitorus. Berdasarkan keterangan Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Medan, diketahui bahwa Sihar Sitorus adalah pemegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) 1271171207660002, tempat dan tanggal lahir di Rantau Prapat, 12 Juli 1966. Sementara dari Kantor Dukcapil yang sama, dijelaskan bahwa anak pengusaha sawit DL Sitorus yang merupakan anggota DPR RI itu bernama Sihar P.H. Sitorus, pemegang KTP dengan NIK 3173021207680004, tempat dan tanggal lahir di Jakarta, 12 Juli 1968.


“Dari data dan fakta tersebut nyaris dapat dipastikan bahwa oknum anggota DPR RI dari Partai PDI Perjuangan itu memiliki NIK ganda dan KTP ganda. Disamping nama pada kedua KTP-nya berbeda, juga NIK-nya berbeda pada KTP satu dengan lainnya, plus berbeda tempat kelahirannya, Jakarta dan Rantau Prapat. Kepemilikan KTP ganda merupakan tindak pidana.


“Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mengenai KTP ganda yang menegaskan pada Pasal 63 ayat (6) bahwa setiap orang atau penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP. Sanksi atas pelanggaran ketentuan ini diatur pada Pasal 97 yang menetapkan bahwa setiap penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 25 juta,” beber lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, England, itu.


Sehubungan dengan kasus perampasan dan penguasaan tanah oleh mafia tanah tersebut, wartawan senior yang dikenal gigih memperjuangkan warga yang terzolimi ini mendesak agar DPR RI segera berbenah diri, memproses oknum-oknum anggota DPR yang bermasalah. “Saya mendesak DPR RI sebagai representase rakyat Indonesia untuk secara serius menyikapi persoalan ini dan memproses serta memberikan sanksi tegas terhadap anggotanya yang terindikasi kuat melakukan tindak pidana dan terlibat praktek mafia tanah,” pungkas Wilson Lalengke yang juga menjabat sebagai Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) itu mengakhiri pernyataannya. 

(APL/Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update